Beberapa Adab dan Sunah Berhari Raya (Bag. 2)

📆 Ahad,  28 Ramadhan 1437 H / 3 Juli 2016 M

📚 Fiqih dan Hadits

📝 Ustadz Farid Nu'man Hasan, SS.

📋  Beberapa Adab dan Sunah Berhari Raya (Bag. 2)

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁
 
4⃣ Pergi menuju lapangan untuk shalat Id

Shalat hari raya di lapangan adalah sesuai dengan petunjuk Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, karena Beliau tidak pernah shalat Id, kecuali di lapangan (mushalla). Namun, jika ada halangan seperti hujan, lapangan yang berlumpur atau becek, tidak mengapa dilakukan di dalam masjid. Dikecualikan bagi penduduk Mekkah, shalat Id di Masjidil Haram adalah lebih utama.

  Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

صلاة العيد يجوز أن تؤدى في المسجد، ولكن أداءها في المصلى خارج البلد أفضل  ما لم يكن هناك عذر كمطر ونحوه لان رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يصلي العيدين في المصلى  ولم يصل العيد بمسجده إلا مرة لعذر المطر.

  Shalat Id boleh dilakukan di dalam masjid, tetapi melakukannya di mushalla (lapangan) yang berada di luar adalah lebih utama, hal ini selama tidak ada ‘udzur seperti hujan dan semisalnya, karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat dua hari raya di lapangan, tidak pernah Beliau shalat di masjidnya kecuali sekali karena adanya hujan. (Fiqhus Sunnah, 1/318)

  Maksud dari “mushalla” adalah:

موضع بباب المدينة الشرقي

   Lapangan di pintu Madinah sebelah timur. (Ibid, cat kaki. No. 2)

Imam An Nawawi menjelaskan:

أما الاحكام فقال اصحابنا تجوز صلاة العيد في الصحراء وتجوز في المسجد فان كان بمكة فالمسجد الحرام أفضل بلا خلاف

  Ada pun masalah hukum-hukumnya, sahabat-sahabat kami (Syafi’iyah) mengatakan bolehnya shalat  ‘Id di lapangan dan bolehnya di masjid.  Jika di Mekkah, maka Masjidil Haram adalah lebih utama, tanpa diperdebatkan lagi. (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 5/5)

  Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

أَنَّهُ أَصَابَهُمْ مَطَرٌ فِي يَوْمِ عِيدٍ فَصَلَّى بِهِمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةَ الْعِيدِ فِي الْمَسْجِدِ

  Bahwasanya mereka ditimpa hujan pada hari raya, maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat Id bersama mereka di masjid. (HR. Abu Daud No. 1160, Ibnu Majah No. 1313, Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 1094, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 6051, juga As Sunan Ash Shughra No. 732) 

  Adapun kalangan Syafi’iyah, lebih mengutamakan di masjid jika masjid itu mampu menampung semua jamaah satu daerah, jika tidak, maka di lapangan lebih baik.

  Imam Abu Ishaq Asy Syirazi Rahimahullah menuliskan:

وإن كان المسجد واسعا فالمسجد أفضل من المصلى لان الأئمة لم يزالوا يصلون صلاة العيد بمكة في المسجد ولان المسجد أشرف وأنظف قال الشافعي رحمه الله فإن كان المسجد واسعا فصلى في الصحراء فلا بأس وإن كان ضيقا فصلى فيه ولم يخرج إلى المصلى كرهت لانه إذا ترك المسجد وصلى في الصحراء لم يكن عليهم ضرر وإذا ترك الصحراء وصلى في المسجد الضيق تأذوا بالزحام وربما فات بعضهم الصلاة فكره

  Jika masjid itu luas, maka shalat di dalamnya lebih utama dibanding di lapangan. Karena para imam senantiasa melakukan shalatnya di Mekkah di dalam masjid, juga karena masjid itu  lebih mulia dan lebih bersih. Imam Asy Syafi’i berkata: “Jika masjid itu luas maka shalat di lapangan tidak apa-apa, jika masjidnya sempit maka shalatlah di lapangan.  Jika ada yang tidak keluar menuju lapangan maka itu dibenci (makruh), karena jika mereka meninggalkan  masjid dan shalat di lapangan, tidak akan terjadi dharar (kerusakan). Jika mereka meninggalkan lapangan, dan shalat di masjid yang sempit, maka hal itu akan mengganggu mereka dengan berdesak-desakan, bisa jadi di antara mereka ada yang luput shalatnya, dan hal itu menjadi makruh. (Al Muhadzdzab, 1/118)

  Dalam Syarah terhadap kitab Al Muhazdzab-nya Imam Abu Ishaq,   Imam An Nawawi memberikan rincian sebagai berikut:

-  Shalat Id di Masjidil Aqsha, menurut Al Bandaniji dan Ash Shaidalani, lebih utama dibanding di lapangan. Jumhur tidak ada yang menolaknya, namun yang benar adalah bahwa mereka menyamakan secara mutlak bahwa Al Aqsha sama dengan masjid  lainnya.

-  Jika di negeri selain itu, maka jika mereka memiliki halangan untuk keluar ke lapangan, maka tidak ada perbedaan pendapat bahwa mereka diperintahkan shalat Id di masjid.  Udzur tersebut seperti hujan, dingin, rasa takut, dan semisalnya.

-  Jika tidak ada udzur, dan masjidnya sempit, maka tidak ada perbedaan pendapat bahwa di lapangan lebih afdhal.

-  Jika masjid luas, tapi tidak ada udzur, maka ada dua pendapat:

Pertama, yang shahih adalah yang tertera dalam Al Umm, dan merupakan pendapat Al Mushannif (maksudnya Imam Abu Ishaq Asy Syirazi), mayoritas ulama Iraq, Al Baghawi, dan selain mereka, bahwa shalat di masjid lebih afdhal.

Kedua, yang shahih menurut komunitas ulama khurasan bahwa shalat di lapangan lebih afdhal, karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam selalu melakukannya di lapangan.
Golongan yang pertama memberikan jawaban, bahwa dahulu shalat di lapangan lantaran masjid  berukuran  sempit sedangkan manusia yang keluar sangat banyak, maka yang lebih benar adalah di masjid. Demikian uraian Imam An Nawawi. (Lihat semua dalam Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 5/5)

  Jadi, jika dilihat perbedaan ini, nampak bahwa  yang terpenting adalah tertampungnya jamaah shalat Id dalam tempat shalat. Itulah esensinya, kalangan Syafi’iyah bukan menolak shalat Id di lapangan sebagaimana penjelasan tokoh-tokoh mereka,  sebagaimana memang itu yang dicontohkan nabi, tetapi mereka melihat pada maksudnya, yaitu karena manusia begitu banyak sedangkan kapasitas masjid tidak cukup. Nah, untuk zaman ini rasio umat Islam dan jumlah masjidnya tidak seimbang,  umumnya memang masjid tidak mampu menampung membludaknya jamaah –dan ini yang biasa terjadi- maka, saat itu di lapangan lebih afdhal.

5⃣ Dianjurkan kaum wanita dan anak-anak keluar ke lapangan

Mereka dianjurkan untuk keluar karena memang ini adalah hari raya yang mesti disambut dengan suka cita oleh siapa saja.

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:

يشرع خروج الصبيان والنساء في العيدين للمصلى من غير فرق بين البكر والثيب والشابة والعجوز والحائض

Dianjurkan keluarnya anak-anak dan kaum wanita pada dua hari raya menuju lapangan, tanpa ada perbedaan, baik itu gadis, dewasa, pemudi, tua renta, dan juga wanita haid. (Fiqhus Sunnah, 1/318)

Ummu ‘Athiyah Radhiallahu ‘Anha berkata:

أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلَاةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِحْدَانَا لَا يَكُونُ لَهَا جِلْبَابٌ قَالَ لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا

  Kami diperintahkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk mengeluarkan anak-anak gadis, wanita haid, wanita yang dipingit, pada hari Idul Fitri dan idul Adha. Ada pun wanita haid, mereka terpisah dari tempat shalat. Agar mereka bisa menghadiri kebaikan dan doa kaum muslimin. Aku berkata: “Wahai Rasulullah, salah seorang kami tidak memiliki jilbab.” Beliau menjawab: “Hendaknya saudarinya memakaikan jilbabnya untuknya.” (HR. Bukhari No. 324, dan Muslim No. 890, dan ini lafaznya Imam Muslim)

  Hikmahnya adalah –selain agar mereka bisa mendapatkan kebaikan dan doa kaum muslimin- juga sebagai momen bagi kaum wanita dan anak-anak untuk mendapatkan pelajaran dan nasihat agama. Hal ini ditegaskan dalam riwayat Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, ketika dahulu masih kecil, katanya:

خَرَجْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ فِطْرٍ أَوْ أَضْحَى فَصَلَّى ثُمَّ خَطَبَ ثُمَّ أَتَى النِّسَاءَ فَوَعَظَهُنَّ وَذَكَّرَهُنَّ وَأَمَرَهُنَّ بِالصَّدَقَةِ

  Saya keluar bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada hari Idul Fitri atau Idul Adha, Beliau shalat, kemudian berkhutbah, lalu mendatangi kaum wanita dan memberikan nasihat kepada mereka, memberikan peringatakan dan memerintahkan mereka untuk bersedekah. (HR. Bukhari No. 975)

  Namun, hendaknya keluarnya kaum wanita tetap menjaga akhlak dan adab berpakaian yang dibenarkan syariat, tidak berpakaian dan berhias seperti orang kafir, tidak menampakkan lekuk tubuh, menutup aurat secara sempurna, tidak mencolok, dan menjauhi wangi-wangian.

Tertulis di dalam Al Mausu’ah:

  أَمَّا التَّكْبِيرُ فِي عِيدِ الْفِطْرِ فَيَرَى جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ أَنَّهُ يُكَبَّرُ فِيهِ جَهْرًا وَاحْتَجُّوا بِقَوْلِهِ تَعَالَى : { وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ }   قَال ابْنُ عَبَّاسٍ : هَذَا وَرَدَ فِي عِيدِ الْفِطْرِ بِدَلِيل عَطْفِهِ عَلَى قَوْله تَعَالَى : { وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ }  وَالْمُرَادُ بِإِكْمَال الْعِدَّةِ بِإِكْمَال صَوْمِ رَمَضَانَ 

Ada pun pada Idul Fitri jumhur (mayoritas) fuqaha memandang bahwa bertakbir dilakukan dengan suara dikeraskan. Mereka berdalil dengan firman Allah Ta’ala:   “hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu,” berkata Ibnu Abbas: ayat ini berbicara tentang Idul Fitri karena kaitannya dengan firmanNya: “Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya,” maksudnya dengan menyempurnakan jumlahnya, dengan menggenapkan puasa Ramadhan.  (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 13/213) 
 
Ada pun kalangan Hanafiyah mereka menganjurkan bertakbir secara disirr-kan, pada hari raya Idul Fitri. Berikut ini keterangannya:

وَذَهَبَ أَبُو حَنِيفَةَ إِلَى عَدَمِ الْجَهْرِ بِالتَّكْبِيرِ فِي عِيدِ الْفِطْرِ لأِنَّ الأْصْل فِي الثَّنَاءِ الإْخْفَاءُ لِقَوْلِهِ تَعَالَى {وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْل }  وَقَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرُ الذِّكْرِ الْخَفِيُّ. وَلأِنَّهُ أَقْرَبُ مِنَ الأْدَبِ وَالْخُشُوعِ ، وَأَبْعَدُ مِنَ الرِّيَاءِ

Pendapat Abu Hanifah adalah takbir tidak dikeraskan saat Idul Fitri, karena pada asalnya pujian itu mesti disembunyikan, karena Allah Ta’ala berfirman:  “dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara,” dan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Sebaik-baiknya dzikir adalah yang tersembunyi.”    Karena hal itu lebih dekat dengan adab, khusyu’, dan lebih jauh dari riya’. (Al Mausu’ah, 13/214)

6⃣  Shalat Hari Raya 

Dalam hal ini Allah Ta’ala berfirman:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.” (QS. Al Kautsar: 2)

📌 Shalat Idul Adha (juga Idhul Fitri) adalah sunah muakadah.

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

شرعت صلاة العيدين في السنة الاولى من الهجرة، وهي سنة مؤكدة واظب النبي صلى الله عليه وسلم عليها وأمر الرجال والنساء أن يخرجوا لها.

Disyariatkannya shalat ‘Idain (dua hari raya) pada tahun pertama dari hijrah, dia adalah sunah muakadah yang selalu dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Beliau memerintahkan kaum laki-laki dan wanita untuk keluar meramaikannya. (Fiqhus Sunnah, 1/317)

Ada pun kalangan Hanafiyah berpendapat wajib, tetapi wajib dalam pengertian madzhab Hanafi adalah kedudukan di antara sunah dan fardhu.

Disebutkan dalam Al Mausu’ah:

صَلاَةُ الْعِيدَيْنِ وَاجِبَةٌ عَلَى الْقَوْل الصَّحِيحِ الْمُفْتَى بِهِ عِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ - وَالْمُرَادُ مِنَ الْوَاجِبِ عِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ : أَنَّهُ مَنْزِلَةٌ بَيْنَ الْفَرْضِ وَالسُّنَّةِ - وَدَلِيل ذَلِكَ : مُوَاظَبَةُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهَا مِنْ دُونِ تَرْكِهَا وَلَوْ مَرَّةً

Shalat ‘Idain (dua hari raya)  adalah wajib menurut pendapat yang shahih yang difatwakan oleh kalangan Hanafiyah –maksud wajib menurut madzhab Hanafi adalah kedudukan yang setara antara fardhu dan sunah. Dalilnya adalah begitu bersemangatnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukannya, Beliau tidak pernah meninggalkannya sekali pun. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 27/240)

Sedangkan Syafi’iyah dan Malikiyah menyatakan sebagai sunah muakadah, dalilnya adalah karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah ditanya oleh orang Arab Badui tentang shalat fardhu, Nabi menyebutkan shalat yang lima.

Lalu Arab Badui itu bertanya:

هَل عَلَيَّ غَيْرُهُنَّ ؟ قَال لاَ ، إِلاَّ أَنْ تَطَوَّعَ

Apakah ada yang selain itu? Nabi menjawab: “Tidak ada, kecuali yang sunah.” (HR. Bukhari No. 46)

Bukti lain bahwa shalat ‘Idain itu sunah adalah shalat tersebut tidak menggunakan adzan dan iqamah sebagaimana shalat wajib lainnya. Shalat tersebut sama halnya dengan shalat sunah lainnya tanpa adzan dan iqamah, seperti dhuha, tahajud, dan lainnya. Ini menunjukkan bahwa shalat ‘Idain adalah sunah.

Sedangkan Hanabilah mengatakan fardhu kifayah, alasannya adalah karena firman Allah Ta’ala menyebutkan shalat tersebut dengan kalimat perintah:  “Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.” (QS. Al Kautsar: 2). Juga karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam selalu merutinkannya. (Ibid, 27/240)

7⃣ Mendengarkan Khutbah Hari Raya

Berkhutbah hari raya adalah sunah menurut jumhur ulama, mendengarkannya juga sunah.

Syaikh Sayyid Sabiq menerangkan:

الخطبة بعد صلاة العيد سنة والاستماع إليها كذلك

Khutbah setelah shalat  ‘Id adalah sunah, mendengarkannya juga begitu. (Fiqhus Sunnah, 1/321)

Syaikh Wahbah Az Zuhaili Rahimahullah menjelaskan:

تسن عند الجمهور وتندب عند المالكية خطبتان للعيد كخطبتي الجمعة في الأركان والشروط والسنن والمكروهات، بعد صلاة العيد خلافاً للجمعة، بلا خلاف بين المسلمين

Disunahkan menurut mayoritas ulama, dan dianjurkan menurut Malikiyah dua khutbah pada saat hari raya, sebagaimana khutbah Jumat dalam hal rukun, syarat, sunah, dan makruhnya, dilakukan setelah shalat Id, berbeda cara dengan shalat Jumat, tidak ada perselihan pendapat di antara kaum muslimin dalam hal ini. (Al Fiqhu Al Islami wa Adillatuhu, 2/528)

Maka, di sisi khatib,  sangat dianjurkan agar khatib memberikan khutbah semenarik mungkin agar jamaah tidak pulang. Sebab, di sisi lain mereka berhak untuk itu, karena memang itu sunah, dan mereka pun sudah shalat ‘Id. Berbeda dengan shalat Jumat, mereka tidak mungkin pulang ketika mendengarkan khutbah, karena shalatnya belum dilaksanakan. Di sisi jamaah, hendaknya mereka mau bersabar dan menyimak khutbah saat itu, yang dengan itu mudah-mudahan Allah Ta’ala memberikan manfaat melalui lisan sang khathib.

Dari Abdullah bin As Saa’ib Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِيدَ فَلَمَّا قَضَى الصَّلَاةَ قَالَ إِنَّا نَخْطُبُ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ لِلْخُطْبَةِ فَلْيَجْلِسْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَذْهَبَ فَلْيَذْهَبْ

“Saya menghadiri shalat ‘Id bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ketika shalat sudah selesai, beliau bersabda: “Kami  akan berkhutbah, jadi siapa saja yang mau duduk mendengarkan khutbah maka duduklah, dan yang ingin pergi, pergilah!” (HR. Abu Daud No. 1155, Ad Daruquthni, 2/50, Alaudin Al Muttaqi Al Hindi, Kanzul ‘Ummal No.  24097 , Ath Thahawi, Musykilul Aatsar No. 3160. Syaikh Al Albani menshahihkannya. Lihat Shahihul Jami’ No. 2289)

Hadits ini menunjukkan dengan tegas bahwa mendengarkan khutbah bukan kewajiban, tetapi sunah. Namun, muslim yang baik, yang mengakui cinta Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak pantas meninggalkan sunah nabi, pada saat dia mampu menjalankannya.  

Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad berkata:

وعلى هذا فالحضور للخطبة ليس بلازم، فمن أراد أن يحضر حضر، ومن أراد أن ينصرف بعد أن يصلي فله أن ينصرف، والمهم هو الصلاة، وبعض أهل العلم استدل بهذا على أن الخطبة في العيدين ليست بواجبة، وإنما هي مستحبة

Atas dasar ini, maka hadir untuk mendengarkan khubah bukanlah yang mesti, jadi barang siapa yang ingin menghadirinya maka hadirilah, dan siapa yang ingin berpaling setelah shalat maka hendaknya dia pergi, yang penting adalah shalatnya. Sebagiannulama berdalil dengan hadits ini bahwa khutbah pada dua hari raya bukanlah wajib, itu hanyalah sunah. (Syarh Sunan Abi Daud, 6/464)

8⃣ Berangkat dan Pulang melewati jalan yang berbeda

Sunah ini diterangkan dalam berbagai riwayat. Di antaranya:
Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيدٍ خَالَفَ الطَّرِيقَ

  Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika keluar pada hari Id akan menempuh jalan yang berbeda. (HR. Bukhari No. 986)

  Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

كان النبي صلى الله عليه و سلم كان إذا خرج إلى العيدين رجع في غير الطريق الذي خرج فيه

  Dahulu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika keluar menuju shalat dua hari raya, pulangnya menempuh jalan yang berbeda dengan keluarnya. (HR. Ahmad No. 8454, Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 1099, Al Baihaqi dalam As Sunan Ash Shughra No. 727,  Ibnu Khuzaimah No. 1468)

  Imam At Tirmidzi juga meriwayatkan dengan lafaz:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ يَوْمَ الْعِيدِ فِي طَرِيقٍ رَجَعَ فِي غَيْرِهِ

  Dahulu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika keluar pada hari raya menempuh sebuah jalan, pulangnya dia melewati jalan yang lain. (HR. At Tirmidzi No. 541, katanya: hasan gharib. Syaikh Al Albani menshahihkan dalam  Shahihul Jami’ No. 4710)

  Imam At Tirmidzi mengomentari hadits ini:

وَقَدْ اسْتَحَبَّ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ لِلْإِمَامِ إِذَا خَرَجَ فِي طَرِيقٍ أَنْ يَرْجِعَ فِي غَيْرِهِ اتِّبَاعًا لِهَذَا الْحَدِيثِ وَهُوَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ

  Sebagian ulama menyunahkan bagi imam jika keluar melewati sebuah jalan, hendaknya pulang melalui jalan lain, untuk mengikuti hadits ini. Ini adalah pendapat Asy Syafi’i. (Sunan At Tirmidzi No. 541)

  Namun, secara zahir hadits ini tidak menunjukkan kekhususan untuk imam. Oleh karenanya, mesti dipahami bahwa kesunahan ini berlaku secara umum, bagi imam, juga selain imam.

  Syaikh Abdurrahman Al Mubarkafuri menjelaskan:

قال أبو الطيب السندي الظاهر أنه تشريع عام فيكون مستحبا لكل أحد ولا تخصيص بالإمام إلا إذا ظهر أنه لمصلحة مخصوصة بالأئمة فقط

  Berkata Abu Thayyib As Sindi: yang benar adalah bahwa pensyariatannya adalah umum, maka hal ini menjadi sunah bagi setiap orang tidak dikhususkan bagi imam saja, kecuali jika ada  kejelasan adanya maslahat khusus terkait dengan para imam saja. (Tuhfah Al Ahwadzi, 3/78)

  Al Hafizh Ibnu Hajar mengoreksi informasi apa yang ditulis Imam At Tirmidzi tentang pendapat Imam Asy Syafi’i yang katanya sunah bagi imam saja, kata Al Hafizh:

والذي في الأم أنه يستحب للإمام والمأموم وبه قال أكثر الشافعية

  Dan, yang ada di dalam Al Umm, bahwa Beliau (Asy Syafi’i) menyunahkan bagi imam dan ma’mum sekaligus, dan ini merupakan pendapat mayoritas Syafi’iyah. (Fathul Bari, 2/472)

  Syaikh Al Mubarkafuri menambahkan:

وبالتعميم قال أكثر أهل العلم انتهى قلت وبالتعميم قال الحنفية أيضا

  Dan, mayoritas ulama berpendapat bahwa hal ini berlaku umum. Aku berkata: “untuk umum” juga pendapat Hanafiyah. (Tuhfah Al Ahwadzi, 3/79)

📌Apa hikmahnya disunahkan menempuh jalan berbeda?

  Tidak ada keterangan dalam As Sunah tentang alasan kenapa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan hal ini. Oleh karenanya, terjadi beragam tafsir dari para ulama tentang maksudnya, sampai lebih dari 20 pendapat.

  Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan:

وقد اختلف في معنى ذلك على أقوال كثيرة اجتمع لي منها أكثر من عشرين

  Telah terjadi perselisihan tentang makna hal ini dengan perselisihan yang banyak, saya telah mengumpulkan pendapat-pendapat itu,  di antaranya lebih dari 20 pendapat. (Fathul Bari, 2/473)

  Di antara mereka ada yang mengatakan; untuk saling mengunjungi satu sama lain, untuk berbagi keberkahan di antara mereka, agar mereka menyebarkan   wangi-wangian yang memang disunahkan untuk memakainya saat itu dan bisa dicium oleh orang lain,  untuk membuat jengkel Yahudi dan kaum munafik, menunjukkan syiar, untuk mesyiarkan dzikrullah, dan sebagainya.

📌Boleh menempuh jalan yang sama

  Tidak terlarang jika pada akhirnya ketika pulang dari shalat ‘Id memilih jalan yang sama dengan berangkatnya.  Hal ini berdasarkan riwayat berikut:

  Dari Bakr bin MubaMajelis Ilmu Farid Nu'man:
sysyir Al Anshari, katanya:

كُنْتُ أَغْدُو مَعَ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الْمُصَلَّى يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الْأَضْحَى فَنَسْلُكُ بَطْنَ بَطْحَانَ حَتَّى نَأْتِيَ الْمُصَلَّى فَنُصَلِّيَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ نَرْجِعَ مِنْ بَطْنِ بَطْحَانَ إِلَى بُيُوتِنَا

  Saya berangkat pagi-pagi bersama para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menuju lapangan pada hari Idul Fitri dan Idul Adha, kami menempuh lembah Bath-han sampai kami datang ke lapangan lalu kami shalat bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, kemudian kami pulang melewati lembah Bath-han ke rumah-rumah kami. (HR. Abu Daud No. 1158, Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 1100, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 6048, Alauddin Al Muttaqi Al Hindi, Kanzul ‘Ummal No. 24520, katanya: Ibnu Sikkin berkata isnadnya shaalih (baik). Abu Nu’aim dalam Ma’rifatush Shahabah No. 1156)

  Sebagian ulama mendhaifkan hadits, namun demikian hal ini tidak mengubah hakikat masalah ini, yakni menempuh jalan berbeda antara pergi dan pulang adalah sunah, bukan wajib.

  Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr Hafizhahullah menjelaskan:

ولكن يدل على أن الإنسان له أن يذهب من طريق ويرجع من نفس طريقه دون أن يخالف الطريق، لكن الحديث غير ثابت؛ لأن فيه من هو ضعيف ومن هو مجهول، والثابت هو ما تقدم من أنه يخالف الطريق، وأنه يذهب من طريق ويرجع من طريق، وهذا سنة، ولو أن الإنسان ذهب من طريقه ورجع من طريقه فلا بأس بذلك، فالذهاب من طريق والرجوع من طريق أخرى ليس بواجب وإنما هو مستحب، إن فعله الإنسان أثيب وإن لم يفعله فلا شيء عليه

  Tetapi hadits ini menunjukkan bahwa manusia dapat pergi dan pulang melalui jalan yang sama tanpa menempuh jalan yang berbeda, tetapi hadits ini tidak tsaabit (kuat), karena di dalamnya terdapat perawi yang lemah dan majhuul, yang shahih adalah hadits yang telah lalu bahwa nabi menempuh jalan yang berbeda, Beliau pergi melalui sebuah jalan dan kembali melalui jalan yang lain, dan ini adalah sunah. Seandainya manusia pergi melalui sebuah jalan lalu pulang lewat jalan itu lagi, hal itu tidak apa-apa. Jadi, pergi menempuh suatu jalan dan pulangnya menempuh jalan lain adalah bukan hal yang wajib, itu hanya mustahab (disukai), jika manusia melakukannya maka dia mendapatkan pahala, jika tidak, maka tidak apa-apa. (Syarh Sunan Abi Daud,  6/470)

🔹Bersambung ..🔹

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁🌹

Dipersembahkan:
www.iman-islam.com

💼 Sebarkan! Raih pahala...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

GANGGUAN JIN ASYIQ DAN PENYEBABNYA

Praktek Kerja Lapangan (PKL) - bagian 2

TA'ARUF