BIMBINGAN IDUL FITRI

••••••••••══✿❀✿❀✿══•••••••••••
  🔰WE ARE THOLABUL'ILMI 🔰
•••••••••••══✿❀✿❀✿══••••••••••

بسم الله الرحمن الرحيم

MENGAPA DINAMAKAN ‘ID?

Secara bahasa, ‘Id ialah sesuatu yang kembali dan berulang-ulang. Sesuatu yang biasa datang dan kembali dari satu tempat atau waktu.

Kemudian dinamakan ‘Id, karena Allah kembali memberikan kebaikan dengan berbuka, setelah kita berpuasa dan membayar zakat fithri.
Karena, biasanya pada waktu waktu seperti ini terdapat kesenangan dan kebahagiaan.

As Suyuthi rahimahullah berkata :
"Id merupakan kekhususan umat ini. Keberadaan dua hari ‘Id, merupakan rahmat dari Allah kepada ummat ini.

Dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata :.
”Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah, dan penduduk Madinah mempunyai dua hari raya. Pada masa Jahiliyyah, mereka bermain pada dua hari raya tersebut.

Beliau bersabda :
"Aku datang dan kalian mempunyai dua hari, yang kalian bermain pada masa Jahiliyah. Kemudian Allah mengganti dengan yang lebih baik dari keduanya, (yaitu) hari Nahr dan hari Fithri’.”
(Dr. Abdullah Ath Thayyar, Ahkam Al ‘Idain Wa ‘Asyri Dzil Hijjah, hlm. 9)

HAL-HAL YANG DISUNNAHKAN PADA HARI ‘ID

Ada beberapa amalan yang disunnahkan bagi kita pada hari yang berbahagia ini, diantaranya :

1. Mandi
Pada hari ‘Id, disunnahkan untuk mandi. Karena pada hari tersebut kaum muslimin akan berkumpul, maka disunnahkan mandi seperti pada hari Jum’at.
Namun, apabila seseorang hanya berwudhu’ saja, maka sah baginya.
(Ibnu Qudamah, Al Mughni, 3/257).
Dan kaifiyatnya seperti mandi janabat.

Sa’id Ibnul Musayyib rahimahullah berkata :
”Sunnah pada hari ‘Idul Fithri ada tiga. (Yaitu): berjalan kaki menuju tanah lapang, makan sebelum keluar rumah dan mandi
(Irwa’ul Ghalil, 2/104)

2. Berhias Sebelum Berangkat Shalat Id

Disunnahkan untuk membersihkan diri dan mengenakan pakaian terbaik yang dimilikinya, memakai minyak wangi dan bersiwak.

Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata :

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَلْبَسُ يَوْمَ الْعِيْدِ بُرْدَةً حَمْرَاءَ

“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pada hari ‘Id, Beliau mengenakan burdah warna merah”
(Ash Shahihah, 1.279])

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata :
”Dahulu, ketika keluar pada shalat dua hari raya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenakan pakaian yang terindah. Beliau memiliki hullah yang dikenakannya untuk dua hari raya dan hari Jum,at. Suatu waktu, Beliau mengenakan dua pakaian hijau, dan terkadang mengenakan burdah (kain selimut warna merah).”
(Zaadul Ma’ad, 1/426)

Sedangkan bagi kaum wanita, tidak dianjurkan untuk berhias dengan mengenakan baju yang mewah, atau mengenakan minyak wangi. Dan hendaknya, mereka menjauh dari kaum lelaki agar tidak menimbulkan fitnah, sebagaimana realita yang kita lihat pada zaman sekarang.

3. Makan Sebelum Shalat ‘Idul Fithri

Dari Buraidah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata :
“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak keluar pada hari ‘Idul Fithri, sehingga Beliau makan. Dan Beliau tidak makan pada hari ‘Idul Adh-ha, sehingga Beliau pulang ke rumah, kemudian makan dari daging kurbannya”.
(HR At Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata :
”Dahulu, sebelum keluar untuk shalat ‘Idul Fithri, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam makan beberapa kurma, dengan jumlah yang ganjil. Dan pada hari ‘Idul Adh-ha, Beliau tidak makan sehingga kembali dari tanah lapang, maka Beliau makan dari daging kurbannya.”
(Zaadul Ma’ad, 1/426)

4. Mengambil Jalan Yang Berbeda Ketika Berangkat Dan Pulang Dari Shalat ‘Id.

Disunnahkan untuk menyelisihi jalan, yaitu dengan mengambil satu jalan ketika berangkat menuju shalat ‘Id, dan melewati jalan yang lain ketika pulang dari tanah lapang.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata :
”Dahulu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dengan berjalan kaki, dan beliau menyelisihi jalan; (yaitu) berangkat lewat satu jalan dan kembali lewat jalan yang lain”.
(Zaadul Ma’ad, 1/432)

5. Bertakbir

Allah Azza wa Jalla berfirman :
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ البقرة– 185

“Dan supaya kalian sempurnakan hitungan Ramadhan dan bertakbirlah karena yang telah dikaruniakan Allah kepada kalian, semoga kalian bersyukur”
(Al Baqarah/2:185)

Waktu bertakbir dimulai setelah terlihatnya hilal bulan Syawwal, hal ini jika memungkinkan. Dan jika tidak mungkin, maka dengan datangnya berita, atau ketika terbenamnya matahari pada tanggal 30 Ramadhan.
Kemudian, takbir ini hingga imam selesai dari khutbah ‘Id.

Demikian menurut pendapat yang benar, diantara pendapat Ahlul Ilmi.
Akan tetapi, kita tidak bertakbir ketika mendengarkan khutbah, kecuali jika mengikuti takbirnya imam. Dan ditekankan untuk bertakbir ketika keluar dari rumah menuju tanah lapang, atau ketika menunggu imam datang.
(Ahkamul ‘Idain, 24)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
“Takbir pada hari Idul Fithri dimulai ketika terlihatnya hilal, dan berakhir dengan selesainya ‘Id. Yaitu ketika imam selesai dari khutbah, (demikian) menurut pendapat yang benar”.
(Majmu’ Fatawa, 24/220, 221)

HUKUM SHALAT ID

Hukum shalat ‘Id adalah fardhu ‘ain, bagi setiap orang untuk mengerjakannya.

Dari Ummu ‘Athiyyah Radhiyallahu ‘anha, ia berkata :
“Nabi memerintahkan kepada kami (kaum wanita) untuk keluar mengajak ‘awatiq (wanita berusia muda) dan gadis yang dipingit. Dan Beliau memerintahkan wanita haid untuk menjauhi mushalla (tempat shalat) kaum muslimin”.
(Muttafaqun ‘alaih)

Dahulu, Rasululllah Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa menjaga untuk mengerjakan shalat ‘Id. Ini merupakan dalil wajibnya shalat ‘Id.

Dan karena shalat ‘Id menggugurkan kewajiban shalat Jum’at, jika ‘Id jatuh pada hari Jum’at. Sesuatu yang bukan wajib, tidak mungkin akan menggugurkan satu kewajiban yang lain.
(At Ta’liqat Ar Radhiyah, Syaikh Al Albani, 1/380.)

WAKTU SHALAT ‘IDUL FITHRI

Sebagian besar Ahlul Ilmi berpendapat, bahwa waktu shalat ‘Id adalah setelah terbitnya matahari setinggi tombak hingga tergelincirnya matahari. Yakni waktu Dhuha.
Juga disunnahkan untuk mengakhirkan shalat ‘Idul Fithri, agar kaum muslimin memperoleh kesempatan menunaikan zakat fithri.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata :
“Dahulu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan shalat ‘Idul Fithri dan menyegerakan shalat ‘idul Adh-ha. Sedangkan Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, seorang sahabat yang sangat berpegang kepada Sunnah. Dia tidak keluar hingga terbit matahari”.
(Zaadul Ma’ad, 1/427)

TEMPAT MENDIRIKAN SHALAT ‘ID
Disunnahkan mengerjakan shalat ‘Id di mushalla.
Yaitu tanah lapang di luar pemukiman kaum muslimin, kecuali jika ada udzur.

Misalnya, seperti: hujan, angin yang kencang dan lainnya, maka boleh dikerjakan di masjid.
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata :
“Mengerjakan shalat ‘Id di tanah lapang adalah sunnah, karena dahulu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salalm keluar ke tanah lapang dan meninggalkan masjidnya. Demikian pula khulafaur rasyidin. Dan ini merupakan kesepakatan kaum muslimin. Mereka telah sepakat di setiap zaman dan tempat untuk keluar ke tanah lapang ketika shalat ‘Id”.
(Al Mughni, 3/260)

TIDAK ADA ADZAN DAN IQAMAH SEBELUM SHALAT ‘ID

Dari Ibnu Abbas dan Jabir Radhiyallahu ‘anhuma, keduanya berkata :
“Tidak pernah adzan pada hari ‘Idul Fithri dan hari ‘Idul Adh-ha”
(HR Al Bukhari dan Muslim)

Dari Jabir bin Samurah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata :
“Saya shalat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada dua hari raya, sekali atau dua kali, tanpa adzan dan tanpa iqamat”. (HR Muslim)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata :
“Dahulu, ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai ke tanah lapang, Beliau memulai shalat tanpa adzan dan iqamat ataupun ucapan “ash shalatu jami’ah”. Dan yang sunnah, untuk tidak dikerjakan semua itu”.
(Zaadul Ma’ad, 1/427(
SHIFAT SHALAT ‘ID

Shalat ‘Id, dikerjakan dua raka’at, bertakbir di dalam dua raka’at tersebut 12 kali takbir.
7 pada raka’at yang pertama setelah takbiratul ihram dan sebelum qira’ah,
Dan 5 takbir pada raka’at yang kedua sebelum qira’ah.

“Dari Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir pada dua shalat ‘Id tujuh kali pada raka’at pertama, dan lima kali pada raka’at yang kedua”.
(HR Ibnu Majah)

“Dari Aisyah, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir pada shalat ‘Idul Fithri dan shalat ‘Idul Adh-ha tujuh kali dan lima kali, selain dua takbir ruku”.
(HR Abu Dawud, Ibnu Majah. Lihat Irwa’ul Ghalil, 639)

APAKAH ADA SHALAT SUNNAH SEBELUM DAN SESUDAH ‘ID?

Tidak disunnahkan shalat sunnah sebelum dan sesudah ‘Id.

Disebutkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma :
“Sesungguhnya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat ‘Idul Fithri dua raka’at, tidak shalat sebelumnya atau sesudahnya”
(HR Al Bukhari)

Imam Ahmad rahimahullah berkata :
“Sama sekali tidak ada satu shalat sunnah saat sebelum atau sesudah ‘Id”.

Kemudian dia ditanya : “Bagaimana dengan orang yang ingin shalat pada waktu itu?”

Dia menjawab :
“Saya khawatir akan diikuti oleh orang yang melihatnya. Ya’ni jangan shalat”.
(Al Mughni, Ibnu Qudamah 3/283)

Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
“Kesimpulannya, pada shalat ‘Id tidak ada shalat sunnah sebelum atau sesudahnya, berbeda dari orang yang mengqiyaskan dengan shalat Jum’ah. Namun, shalat sunnah muthlaqah tidak ada dalil khusus yang melarangnya, kecuali jika dikerjakan pada waktu yang makruh seperti pada hari yang lain”.
(Fath-hul Bari, 2/476)

Apabila shalat ‘Id dikerjakan di masjid karena adanya udzur, maka diperintahkan shalat dua raka’at tahiyyatul masjid.
Wallahu a’lam.

APABILA SESEORANG TERTINGGAL DARI SHALAT ‘ID, APAKAH PERLU MENGQADHA?

Dalam masalah ini, Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menyatakan di dalam Asy Syarhul Mumti’ 5/208 :
“Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berpendapat tidak diqadha. Orang yang tertinggal atau luput dari shalat ‘Id, tidak disunnahkan untuk mengqadha’nya, karena hal ini tidak pernah ada dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dan karena shalat ‘Id merupakan shalat yang dikerjakan dengan berkumpul secara khusus. Oleh sebab itu tidak disyari’atkan, kecuali dengan cara seperti itu”.

Kemudian beliau Syaikh Ibnu Utsaimin juga berkata : “Shalat Jum’at juga tidak diqadha. Tetapi, bagi orang yang tertinggal, (ia) mengganti shalat Jum’at dengan shalat fardhu pada waktu itu. Yaitu Dhuhur.

Pada shalat ‘Id, apabila tertinggal dari jama’ah, maka tidak diqadha, karena pada waktu itu tidak terdapat shalat fardhu ataupun shalat sunnah”.

KHUTBAH ‘IDUL FITHRI

Dalam Shahihain dan yang lainnya disebutkan :
“Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar ke tanah lapang pada ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adh-ha. Pertama kali yang Beliau kerjakan ialah shalat, kemudian berpaling dan berdiri menghadap sahabat, dan mereka tetap duduk di barisan mereka. Kemudian Beliau memberikan mau’izhah, wasiat dan memerintahkan mereka”.
(HR Al Bukhari dan Muslim)

Dalam masalah khutbah ‘Id ini, seseorang tidak wajib mendengarkannya. Dibolehkan untuk meninggalkan tanah lapang seusai shalat.

Tidak sebagaimana khutbah Jum’ah, yang wajib bagi kita untuk menghadirinya.
Di dalam hadits Abdullah bin As Sa’id Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata :
“Saya menyaksikan shalat ‘Id bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika selesai, Beliau berkata:
“Kami sekarang berkhutbah. Barangsiapa yang mau mendengarkan, silahkan duduk. Dan barangsiapa yang tidak mau, silahkan pergi”.
(Dikeluarkan oleh Abu Dawud, An Nasa’i, Ibnu Majah. Lihat Irwa’ul Ghalil 3/96)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata :
”Dahulu, apabila Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyempurnakan shalat, Beliau berpaling dan berdiri di hadapan para sahabat, sedangkan mereka duduk di barisan mereka. Beliau memberikan mau’izhah, wasiat dan memerintahkan dan melarang mereka. Beliau membuka khuthbah khutbahnya dengan memuji Allah. Tidak pernah diriwayatkan dalam satu haditspun bahwasanya Beliau membuka dua khutbah pada ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adh-ha dengan bertakbir. Dan diberikan rukhshah bagi orang yang menghadiri ‘Id untuk mendengarkan khutbah atau pergi”.
(Zaadul Ma’ad, 1/429)

MENGUCAPKAN SELAMAT PADA HARI ‘ID

Syaikhul Islam ditanya tentang mengucapkan selamat pada hari ‘Id.
Beliau menjawab :
“Mengucapkan selamat pada hari ‘Id; apabila seseorang bertemu saudaranya, kemudian dia berkata   تَقَبَّلَ اللّهُ مِنَّا وَ مِنْكُم 
Semoga Allah menerima amal kebaikan dari kami dan dari kalian) atau أَحَاك اللّهُ عَلَيْكَ   (semoga Allah memberikan kebaikan kepada Anda), atau semisalnya, dalam hal seperti ini telah diriwayatkan dari sekelompok diantara para sahabat, bahwa mereka dahulu mengerjakannya. Dan diperperbolehkan oleh Imam Ahmad dan selainnya. Imam Ahmad berkata,’Saya tidak memulai seseorang dengan ucapan selamat ‘Id.

Namun, jika seseorang menyampaikan ucapan selamat kepadaku, aku akan menjawabnya, karena menjawab tahiyyah hukumnya wajib. Adapun memulai ucapan selamat ‘Id bukan merupakan sunnah yang diperintahkan, dan tidak termasuk sesuatu yang dilarang. Barangsiapa yang mengerjakannya, maka ada contohnya. Dan bagi orang yang tidak mengerjakannya, ada contohnya juga”.
(Majmu’ Fatawa, 24/253, lihat juga Al Mughni, 3/294)

Wallahu a’lamu bish shawab

•••┈┈•┈┈•⊰✿📚✿⊱•┈┈•┈┈•••
Website :

Website Tholabul'ilmi: tholabulilmiindonesia.blogspot.com
Website Josh:
JOSHindonesia.blogspot.com
Website Laskar Subuh:
Laskarsubuhindonesia.blogspot.com
Telegram :
t.me/tholabulilmiWA
facebook FP :
m.facebook.com/TholabulilmiWhatsApp
facebook Group :
m.facebook.com/profile.php?id=183387271707797

Follow IG Tholabul'ilmi WA :

▶ Gabung Komunitas Tholabul'ilmi :
Ketik : GabungTI#Nama#Domisili#Status#L/P
Kirim ke:
~ Ukh Susan Anisya :
+6285374450956
~ Ukh Petty Nusaybah :
+6285266812579

•••┈┈•┈┈•⊰✿🔰✿⊱•┈┈•┈┈•••
    🔰WE ARE THOLABUL'ILMI🔰

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MACAM MACAM IKHTILAF (Perselisihan Pendapat Ulama)

Praktek Kerja Lapangan (PKL) - bagian 2

I.M.M 2