BOLEHKAH AQIQAH SETELAH DEWASA ATAU AQIQAHI UNTUK DIRI SENDIRI

••••••••••══✿❀✿❀✿══•••••••••••
   🔰WE ARE THOLABUL'ILMI 🔰
•••••••••••══✿❀✿❀✿══••••••••••

https://www.instagram.com/p/Bt1uf-nFCQt/?utm_source=ig_share_sheet&igshid=9ik8rtvztlk0

بسم الله الرحم الرحيم

BOLEHKAH AQIQAH SETELAH DEWASA ATAU AQIQAHI UNTUK DIRI SENDIRI

Penjelasan singkat tentang aqiqah dan hukum hukum yang terkait tentang nya.

Aqiqah adalah hewan yg disembelih karena kelahiran anak sebagai rasa syukur kepada Allah Ta’ala dengan niat dan syarat syarat tertentu.

Dari Samurah bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

الْغُلاَمُ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ يُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ، وَيُسَمَّى وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ

“Seorang anak tergadai dengan aqiqahnya, sembelihkanlah (aqiqah) atasnya pada hari ke 7 (dari kelahirannya) , diberi nama dan di cukur rambut kepalanya”.
(HR Tirmidzi : 1522, Abu Dawud : 2837).

Maksud TERGADAI adalah sebagaimana perkataan 'Atha bin Abi Rabah dan Imam Ahmad bin Hanbal, Tergadai yakni Terhalang untuk memberikan syafa’at kepada kedua orang tuannya, jika ia meninggal diwaktu kecil dan belum diaqiqahi.

Dibawah ini paparkan secara singkat tentang fiqih yang terkait aqiqah.

1. Hukum Aqiqah

Ada khilaf (perbedaan pendapat) dikalangan para ulama, antara yang mengatakan WAJIB dan SUNNAH MUAKKADAH.
Kita kuatkan pendapat yang hukumnya sunnah muakkadah (sunnah yang ditekankan pelaksanaannya).

Dan ini pendapat jumhur Ulama dari kalangan para sahabat, Tabi’in dan ahli fiqih. Ini juga pendapat para ulama kalangan madzhab Syafi’i, Maliki, dan merupakan pendapat terkuat dari kalangan ulama madzhab Hanbali Rahimahumullah.
Imam Malik Rahimahullah berkata :

“Aqiqah itu hukumnya tidak wajib akan tetapi mustahab/ dianjurkan untuk dikerjakan. Ia merupakan amalan yg tdak pernah ditinggalkan oleh manusia, menurut kami “.
(Kitab Al-Muwatha : 1072, Al Istidzkar 5/316).

Imam Ahmad pernah ditanya tentang aqiqah apakah wajib ?
Maka jawabnya tidak wajib, akan tetapi barangsiapa yg ingin menyembelih, hendaklah ia menyembelih.

2. Pihak yg dibebani Aqiqah

Pihak yang berkewajiban melaksanakan aqiqah adalah ayah yang mendapatkan anugrah kelahiran anak, atau orang yang menanggung nafkah anak yang dilahirkan tersebut.

Dalilnya Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam Bersabda :

مَنْ وُلِدَ لَهُ وَلَدٌ فَأَحَبَّ أَنْ يَنْسُكَ عَنْهُ فَلْيَنْسُكْ.

” Barang siapa dilahirkan anak baginya (maksudnya bapak nya anak) maka jika ia ingin menyembelih (aqiqah untuk anaknya) maka hendaklah ia menyembelih”.
(HR Abu Dawud : 2842).

3. Jumlah hewan aqiqah

Anak laki laki dua ekor kambing, sedangkan untuk anak perempuan 1 ekor saja.

Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan mereka agar ber aqiqah, untuk bayi laki laki dua ekor kambing yang sepadan, dan bagi bayi perempuan 1 ekor kambing”.
(HR Ahmad dan Tirmidzi : 1513).

Oleh karena itu kata para ulama, “perempuan itu ukurannya separoh dari laki laki dalam 5 hal Yaitu :
~ Dalam harta warits
~ Dalam diyat pembunuhan
~ Dalam persaksian
~ Dalam aqiqah dan
~ Dalam pemerdekaan budak”.
(Mukhtashar al fiqhi al islami : 690)

4.Waktu pelaksanaan Aqiqah

Disunahkan pada hari ketujuh dari hari kelahirannya. Dan hari lahirnya dihitung satu.

Maka kalau anak lahir hari senin misalnya, berarti aqiqahnya hari ahad.

Kalau hari ke 7 tidak sempat maka hari ke 14, kalau tidak juga maka hari ke 21, atau kapan pun.

CATATAN :
Pergantian hari didalam islam bukan jam 12.00 malam, tapi bergantinya hari apabila datang waktu maghrib, atau tenggelamnya matahari.
Jikalau anak lahir hari senin sebelum maghrib, maka anak tersebut dihitung lahir hari senin, berarti aqiqahnya hari ahad. Tapi kalau anak lahir hari senin ba’da maghrib maka anak tersebut dianggap lahir hari selasa, itu berarti aqiqahnya hari senin

Dari Buraidah Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:
“Aqiqah disembelihkan pada hari ke 7 atau ke 14 atau ke 21”.
(HR Tirmidzi 4/1522).

Namun ada diantara para ulama seperti syaikh Shalih Al  Fauzan dan Syaikh Ibnu Utsaimin yang berpendapat bolehnya selain dari 3 waktu yang disebutkan oleh Hadits diatas tanpa batasan, sehingga ketika pada waktu waktu tersebut orang tua belum mampu aqiqah, boleh ia melakukannya ketika ada kelapangan.

Dalam sebuah fatwanya Lajnah Daaimah (komite tetap majlis Fatwa Saudi Arabia) disebutkan :

“Apabila memang kondisinya seperti yang dikatakan (yaitu pada saat waktu anak lahir ia belum mampu untuk melakukan aqiqah, lalu ketika anak anaknya sudah pada besar besar baru Allah beri kelapngan rejeki), maka aqiqahlah untuk anak anak nya bagi yang laki laki masing masing dua ekor kambing”.
(Fatwa Lajnah Daaimah 11/441).

5. Bacaan ketika

Menyembelih aqiqah.
Baca Bismillah sebagaimana sembelihan sembelihan yang lain, dan ada bacaan tambahan kalau mau dibaca yaitu :
BISMILLAHI WALLAHU AKBAR, ALLAHUMMA MINKA WA LAKA, HADZIHI ‘AQIQATU ………(sebutkan nama bayi).

Atau mengucapkan :
BISMILLAHI WALLAHU AKBAR, ALLAHUMMA LAKA WA ILAIKA, HADZIHI ‘AQIQATU……….(sebutkan nama bayi).
(HR Al-Baihaqi juz 9 / 19077).

6. Aqiqah untuk diri sendiri setelah dewasa karena ketika kecilnya belum di aqiqahi.

Ini termasuk masalah yang diperselisihkan oleh para ulama. Dan perselisihan ini terjadi karena mereka berselisih tentang keabsahan Hadits yang menetapkan adanya aqiqah setelah dewasa, dimana hadits itu bunyinya :

عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ , أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقَّ عَنْ نَفْسِهِ بَعْدَ النُّبُوَّةِ

“Dari Anas bin Malik, bahwasanya Nabi shalallahu alaihi wasallam aqiqah untuk dirinya setelah kenabian (diangkat menjadi Nabi)”.
(HR Abdurrazaaq, Al-Mushanif 4/329 no hdits. 7960).

Ulama yg mendha’ifkan Hadits ini : Imam Ahmad, Al-Bazaar, Al-Baihaqi, An-Nawawie, Ibnu Abdil Hadi, Ibnu Mulaqqin, Syaikh Bin Baaz rahimahumullah (dan jarah atau celaan para ulama terhadap Hadits ini ada yang dengan celaan : munkar, bathil, lemah sekali, dll disebabkan ada Rawi bernama Abdullah bin Al Muharrar).

Ulama yg menshahihkan tepatnya menghasankan hadits ini adalah Al-‘allamah Al-Albani -rahimahullah- didalam As-Shahihah : 2726 setelah membahasnya panjang lebar.
Maka kita katakan ulama terbagi kepada 2 (dua) pendapat dalam masalah ini :

Pendapat pertama :
Dianjurkan aqiqah setelah dewasa bagi yang pada masa kecilnya belum di aqiqahi. Ini pendapat Atho, Al Hasan Bashri, Ibnu Sirin. Dan Syaikh Al Albani berpendapat dengan pendapat ini.

Beliau mengatakan bahwa aqiqah auntuk diri sendiri adalah sunnah bukan wajib, karena yang wajib itu berkaitan dengan orang tua, Dalil dari pendapat ini adalah Hadits Anas diatas yang diperselisihkan keabsahannya.
(Jami’ ahkamil ‘aqiqah, hal. 48-49)

As syaukani rahimahullah berkata :

Imam syafi’I rahimahullah berkata :
Sesungguhnya makna hadits itu adalah bahwa tidak boleh mengakhirkan waktu aqiqah dari hari ke tujuh dengan sengaja, akan tetapi kalau terlambat sampai dewasa maka gugurlah kewajiban mengaqiqahi tersebut , tapi bagi yang mau mengaqiqahi dirinya sendiri maka silahkan melakukannya”
(Nailul Authar 5/158)

Didalam kitab Mausu’ah Fiqhiyah disebutkan :
Anak yang sudah dewasa tapi belum di aqiqahi maka dianjurkan baginya untuk mengaqiqahi dirinya sendiri menurut madzhab syafi’I”
(Nihayatul Muhtaj 8/138)

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata :
Jika belum diaqiqahi sama sekali lalu sang anak mencapai baligh dan berpenghasilan, maka tidak ada kewajiban aqiqah atasnya.

Imam Ahmad ditanya tentang permasalahan ini, beliau berkata :
“(Aqiqah) itu kewajiban orangtua, maksudnya adalah ia tidak (boleh) mengaqiqahi atas dirinya, karena menurut sunnah (mewajibkan) dalam hak selainnya.”

Berkata Atha’, Al Hasan :
“Ia (boleh) mengaqiqahi atas dirinya, karena aqiqah ini disyariatkan atasnya dank arena ia tergadaikan dengannya, maka semestinya ia menyegerakan pembebasan dirinya, dan menurut kami, bahwa aqiqah adalah disayriatkan pada kewajiban irangtua maka tidak boleh mengerjakannya selainnya, seperti orang lain dan seperti sedekah fitr.”
Lihat Al Mughnni, (Al Mughni, Ibnu Qudamah 9/641).

Bahkan syaikh Bin Baaz rahimahullah sendiri walaupun beliau melemahkan hadits Anas diatas bahkan sampai mengatakan hadits lemah atau palsu
(majmu’ Fatawa 26/267),

Beliau Rahimahullah termasuk yang berpendapat menganjurkan aqiqah untuk diri sendiri yang belum diaqiqahi ketika kecil, karena ia sunnah muakkadah, maka apabila orang tua tidak aqiqah untuknya ketika kecil dianjurkan aqiqah untuk dirinya sendiri kalau mampu, hal ini berdasrkan keumuman riwayat perintah aqiqah.
( Majmu’ Fatawa bin Baaz 26/266).

Syeikh Ibnu Baz rahimahullah berkata :
“Dan pendapat yang pertama lebih jelas, yaitu dianjurkan ia mengaqiqahi dirinya, karena aqiqah adalah sunnah muakkadah dan orangtuanya telah meninggalkannya, maka disyariatkan kepadanya agar melakukan jika ia mampu, yang demikian itu berdasarkan keumuman beberapa hadits, diantaranya; Sabda Rasululah shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya, disembelih atasnya (hewan aqiqahnya) pada hari ke tujuhnya, dgunduli kepalanya dan memberikan nama.”
HR. Ahmad dan para penulis (kitab Sunan, dari Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu dengan sanad yang shahih)

Dan termasuk diantaranya; hadits Ummu Al Kurz Al Ka’biyyah bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “ beliau memerintahkan anak lelaki agar diaqiqahi dengan dua ekor kambing dan anak perempuan agar diaqiqahi dengan satu ekor kambing.”
HR. Imam yang lima dan Tirmidzi menshahihkan riwayat yang semisal yaitu dari riwayat Aisyah dan hadits ini tidak ditujukan kepada siapa siapa, maka berarti mencakup anak, ibu dan selain keduanya dari para kearabat anak yang terlahir tersebut.”
(Lihat kitab Majmu’ Fatawa Syeikh Ibnu Baz, (26/266).

Pendapat kedua :
Tidak ada anjuran untuk aqiqah terhadap diri sendiri. Inilah pendapatnya para ulama dari kalangan Madzhab Malikiyyah, ia adalah riwayat dari Imam Ahmad,
“Bahwa di Madinah tidak dikenal aqiqah untuk diri sendiri.

Pendapat ini berdalil, bahwa kewajiaban Aqiqah itu adalah tanggung jawab orang tua, bukan anak. Maka anak tidak ada kewajiban untuk mengaqiqahi dirinua tatkala ia dewasa.
Dan mereka pun menyatakan sebagai bantahan kepada pendapat pertama, bahwa Hadits yang dijadikan dalil adalah hadits yang tidak shahih. Atau kalupun mau dianggap shahih, maka hadits itu dibawa kepada pemahaman bahwa perkara itu khususiyyah (kekhususan ) Nabi shalallahu alaihi wasallam.
(Jaami’ Ahkamil ‘Aqiqah, hal. 50)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah berkata :
"Apabila seorang bapak yang faqir saat di syari’atkannya aqiqah, maka tidak wajib baginya untuk melaksanakan aqiqah, walaupun setelah itu ia mendapatkan kecukupan. Sebagaimana seseorang yang fakir maka tidak wajib baginya zakat, walaupun setelah itu menjadi kaya, maka demikian juga aqiqah menjadi gugur (kewajibannya) karena ketidak mampuannya, akan tetapi kalau dia memang mampu (untuk aqiqah) tapi dia sengaja mengulur ngulur waktunya maka baginya tetap wajib aqiqah ketika mampu walaupun anaknya sudah besar. Adapun aqiqah untuk diri sendiri maka dalam masalah ini ada khilaf (perbedaan pendapat) dikalang para ulama, dan pendapat yang kuat adalah tidak perlu aqiqah karena ia tanggung jawab orang tua”
(Liqa Baab Maftuh, dinukil dari Jaami’ Ahkamil ‘Aqiqah, hal. 52)

Syeikh Shalih bin Fauzan Al Fawzan Hafizhahullah berkata :
“Yang utama (aqiqah) dilakukan pada hari ke tujuhnya, ini adalah paling utama yang ada berdasarkan teks dalilnya, tapi jika terlambat dari itu tidak mengapa, dan tidak ada batasan untuk akhir waktunya kecuali sebagian para ulama berkata: Jika anak yang lahir sudah besar berarti waktu aqiqahnya sudah lewat, maka tidak dianjurkan untuk melakukan aqiqah atas seorang yang sudah besar.
Adapun mayoritas ulama berpendapat bahwa tidak ada larangan untuk itu meskipun sudah besar.”
(Al Muntaqa min Fatawa Al Fawzan, 4/84).

Dalam kesempatan lain Syaikh Shalih bin Fauzan al Fauzan Hafidzahullah berkata ;
"Dan apabila orang tua tidak mengaqiqahi anakanya maka telah meninggalkan sunnah tapi tidak disyari’atkan bagi seseorang beraqiqah untuk dirinya, ketika belum diaqiqahi oleh orang tuanya dahulu, karena aqiqah itu adalah sunah yg jadi tanggung jawab orang tua dan bukan tanggung jawab anak, wallahu a'lam ”.
(Al Muntaqa Min Fatawa Al Fawzan)

KESIMPULAN :
Hukum Aqiqah untuk diri sendiri ada perbedaan pendapat dikalangan para ulama antara yang menganjurkan dan tidak menganjurkan, tapi tidak ada diantara mereka yang mewajibkan, dan kita hendaknya berlapang dada dalam mensikapi perselisihan yang sifatnya ijtihadiyah.

Hanya saja syaikh Al utsaimin Rahimahullah beliau menasehatkan bagi yang mau mengaqiqahi dirinya sendiri agar minta izin kepada orang tuanya.

Beliau rahimahullah berkata ;
“Apabila seseorang mau mengaqiqahi dirinya maka hendaklah dia minta izin kepada orang tuanya dengan mengatakan, wahai ayah akau akan mengaqiqahi diriku sendiri, karena yang di kenakan kewajiban adalah ayah”
(majmu’ Fatawa al ‘Utsaimin 25/224) (Rujukan dari kitab Jaami’u Ahkamil ‘Aqiqah, Muhammad Nashr Abu Jabal)

Allahu a'lam

•••┈┈•┈┈•⊰✿📚✿⊱•┈┈•┈┈•••
Website :

Website Tholabul'ilmi: tholabulilmiindonesia.blogspot.com
Website Josh:
JOSHindonesia.blogspot.com
Website Laskar Subuh:
Laskarsubuhindonesia.blogspot.com
Telegram :
t.me/tholabulilmiWA
facebook FP :
m.facebook.com/TholabulilmiWhatsApp
facebook Group :
m.facebook.com/profile.php?id=183387271707797

Follow IG Tholabul'ilmi WA :

▶ Gabung Komunitas Tholabul'ilmi :
Ketik : GabungTI#Nama#Domisili#Status#L/P
Kirim ke:
~ Ukh Susan Anisya :
+6285374450956
~ Ukh Mini Zakiyyah :
+6287742348166

•••┈┈•┈┈•⊰✿🔰✿⊱•┈┈•┈┈•••
    🔰WE ARE THOLABUL'ILMI🔰

Komentar

Postingan populer dari blog ini

GANGGUAN JIN ASYIQ DAN PENYEBABNYA

Praktek Kerja Lapangan (PKL) - bagian 2

TA'ARUF