makalah PKN
URGENSI PEMUDA SEBAGAI AGEN PEMERSATU
ANTAR ETNIS DAN AGAMA DI PAPUA
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kaum muda Indonesia adalah masa depan bangsa. Karena itu, setiap pemuda Indonesia, baik yang masih berstatus sebagai pelajar, mahasiswa, ataupun yang sudah menyelesaikan pendidikannya adalah aktor-aktor penting yang sangat diandalkan untuk mewujudkan cita-cita pencerahan kehidupan bangsa kita di masa depan. “The founding leaders [1] Indonesia telah meletakkan dasar-dasar dan tujuan kebangsaan sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945.
Sekarang ini kita berada dalam suasana memperingati semangat sumpah
pemuda yang dikumandangkan pada 28 Oktober 1928, delapan puluh dua tahun
yang silam. Sebagai anak bangsa kita telah bersumpah setia untuk bersatu nusa,
bersatu bangsa, dan berbahasa persatuan bahasa Indonesia. Ada kekeliruan dalam
kita memahami makna persatuan itu, yaitu seakan-akan bersatu dalam
uniformitas[2], termasuk dalam soal bahasa. Salah paham itu tercermin antara lain
dalam lagu yang biasa kita nyanyikan, yaitu “satu nusa, satu bangsa, dan satu
bahasa kita”. Akibatnya, sumpah pemuda kita maknai hanya mengenal satu
bahasa saja, yaitu bahasa Indonesia, dengan mengabaikan dan menafikan bahasa-
bahasa daerah yang demikian banyak jumlahnya. Padahal, teks asli sumpah
pemuda itu menyatakan bahwa kita “menjunjung bahasa Indonesia sebagai bahasa
persatuan”. Artinya, bahasa Indonesia itu adalah bahasa persatuan, bukan satu-
satunya bahasa yang diakui oleh bangsa dan negara.
Kita koreksi kesalahpahaman itu dengan menegaskan kembali bahwa kita
harus bersatu sebagai bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia
dengan semboyan “bhinneka-tunggal-ika”[3]. Keanekaragaman bahasa,
kemajemukan anutan agama, etnis dan bahkan perbedaan rasial, merupakan
kekayaan budaya bangsa kita yang tidak ternilai. Akan tetapi di tengah keanekaan
itu, kita telah bertekad untuk bersatu seperti tercermin dalam sila ketiga Pancasila,
yaitu “Persatuan Indonesia”. Kita bersatu dalam keragaman, “unity in
diversity”, dan“bhinneka tunggal ika”. Dalam semangat persatuan itu, kita
beraneka ragam. Kita beraneka, tetapi tetap kokoh bersatu.
Setelah masa reformasi dan terjadinya perubahan UUD 1945, semangat
persatuan dalam keragaman itu kembali dipertegas dalam rumusan pasal-pasal
konstitusi kita. Prinsip otonomi daerah yang sangat luas kita terapkan. Bahkan
satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa seperti Papua, Aceh,
dan Yogaykarta, atau pemerintahan daerah yang bersifat khusus seperti DKI
Jakarta, diberi ruang untuk tidak seragam atau diberi kesempatan untuk
mempunyai ciri-ciri yang khusus atau istimewa, yang berbeda dari daerah-daerah
lain pada umumnya. Demikian pula, kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat di
seluruh nusantara diperkenankan untuk hidup sesuai dengan keasliannya masing-
masing. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 menegaskan, “Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip NKRI, yang diatur dalam undang-undang”.
Di samping itu, diadakan pula penegasan mengenai status bahasa daerah
dalam hubungannya dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Dengan
semangat untuk menjunjung tinggi bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan,
tidak berarti bahwa bahasa daerah diabaikan. Karena itu, dalam Pasal 32 ayat (2)
UUD 1945 ditegaskan, “Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah
sebagai kekayaan budaya nasional”. Dengan perkataan lain, semangat keanekaan
atau kemajemukan kembali diberi tekanan dalam rangka pembinaan Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Dalam wujudnya yang paling konkrit, prinsip kebersatuan dan persatuan itu
juga kita materialisasikan dalam konsepsi tentang negara konstitusional yang
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. UUD 1945 yang di dalamnya terkandung
roh Pancasila itu merupakan piagam pemersatu kita sebagai satu bangsa yang
hidup dalam kesatuan wadah NKRI. Di dalam UUD 1945 itu, segala hak dan
kewajiban kita sebagai warga negara dipersamakan satu dengan yang lain antar
sesama warga negara. Sebagai warga masyarakat, kita beraneka, tetapi sebagai
warga negara segala hak dan kewajiban kita sama satu dengan yang lain.
Karena itu, kaum muda Indonesia saya harapkan dapat membangun
kesadaran hidup berkonstitusi. Konstitusi[4] adalah pemersatu kita dalam peri
kehidupan bersama dalam wadah NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD
1945 ini. Konstitusi negara itulah yang menjadi sumber referensi tertinggi dalam
kita membangun sistim aturan dalam kehidupan bernegara dan berpemerintahan.
Para pemimpin dan pejabat adalah tokoh-tokoh atau orang-orang yang datang dan
pergi. Kita taati keputusannya sepanjang ia mengikuti dan menaati sistim aturan
yang telah kita sepakati bersama berdasarkan UUD 1945. Oleh sebab itu, marilah
kita membangun dan melembagakan sistim aturan dalam kehidupan kolektif kita
dalam kehidupan bernegara dan berpemerintahan.
Pemuda dan mahasiswa adalah harapan bagi masa depan bangsa. Tugas kita
semua adalah mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya untuk mengambil
peran dalam proses pembangunan untuk kemajuan bangsa kita di masa depan.
Estafet kepemimpinan di semua lapisan, baik di lingkungan supra struktur negara
maupun di lingkup infra struktur masyarakat, terbuka luas untuk kaum muda
Indonesia masa kini. Namun, dengan tertatannya sistim aturan yang kita bangun,
proses regenerasi itu tentu akan berlangsung mulus dan lancar dalam rangka
pencapaian tujuan bernegara. Oleh karena itu, orientasi pembenahan sistim
politik, sistim ekonomi, dan sistiim sosial budaya yang tercermin dalam sistim
hukum yang berlaku saat ini sangatlah penting untuk dilakukan agar kita dapat
menyediakan ruang pengabdian yang sebaik-baiknya bagi generasi bangsa kita di
masa depan guna mewujudkan cita-cita bangsa yang adil dan makmur
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, serta guna mencapai empat tujuan nasional
kita, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan sosial.
B. PERUMUSAN MASALAH
Berikut ini batasan masalah yang akan dibahas pada makalah ini:
1. Mengidentifikasi definisi pemuda.
2. Mengidentifikasi pengertian etnik.
3. Mengidentifikasi sebab dikatakannya pemuda sebagai agen pemersatu antar etnis dan agama melalui konflik ‘ketegangan antar Agama di papua’.
C. TUJUAN
1. Memenuhi tugas Pendidikan Kewarganegaraan.
2. Memahami Urgensi Pemuda Sebagai Agen Pemersatu Antar Etnis Dan Agama Di Papua.
BAB II
PEMBAHASAN
1) DEFINISI PEMUDA
Saya teringat kata-kata bung karno yang menggugah “Beri aku seribu orang, dan dengan mereka aku akan menggerakkan Gunung Semeru! Beri aku sepuluh pemuda yang membara cintanya kepada Tanah Air, dan aku akan mengguncang dunia!!?[5]
Mengapa seorang Bung Karno mengatakan hal seperti itu? Apa yang
menyebabkan pemuda begitu hebat di mata seorang pemimpin besar seperti
Bung Karno?
Sebenarnya siapa pemuda itu?
Banyak yang mengatakan pemuda bukan dilihat dari usianya melainkan dari semangatnya. Namun ada juga yang tidak sepaham dengan pernyataan tersebut. Oleh karenanya sebelum masuk ke pembahasan yang lebih jauh mari kita lihat definisi pemuda.
a.) Berdasarkan usia
Menurut WHO pemuda digolongkan berdasarkan usia, yakni 10-24 tahun.
Sedangkan remaja atau adolescence berada pada rentang usia 10-19
tahun.sementara menurut Princeton (universitas terkemuka di USA) definisi
kata pemuda (youth) dalam kamus Webstersnya sebagai “the time of life
between childhood and maturity; early maturity; the state of being young or
immature or inexperienced; the freshness and vitality characteristic of a young
Definisi lainnya :
“Youth… those persons falling between the ages of 15 and 24 years
inclusive.”[7]
“Time in a person’s life between childhood and adulthood. The term “youth”
in general refers to those who are between the ages of 15 to 24.”[8]
The Commonwealth Youth Programme works with “young people (aged 15-
29). “A person… under 21 years of age.”[9]
Dari kumpulan definisi di atas Secara umum pemuda digolongkan
berdasarkan rentang usia yaitu di bawah 30 tahun.
b.) Berdasarkan watak/sifat
Al Quran mendefinisikan pemuda dalam ungkapan sifat dan sikap :
1. berani merombak dan bertindak revolusioner terhadap tatanan sistem yang
rusak. Seperti kisah pemuda (Nabi) Ibrahim. “Mereka berkata: ‘Siapakah
yang melakukan (perbuatan) ini terhadap tuhan-tuhan kami? sungguh dia
termasuk orang yang zalim, Mereka (yang lain) berkata: ‘Kami dengar ada
seorang pemuda yang mencela (berhala-berhala) ini , namanya Ibrahim.”[11]
2. memiliki standar moralitas (iman), berwawasan, bersatu, optimis dan
teguh dalam pendirian serta konsisten dengan perkataan. Seperti
tergambar pada kisah Ash-habul Kahfi (para pemuda penghuni
gua).“Kami ceritakan kepadamu (Muhammad) kisah mereka dengan
sebenarnya. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang
beriman kepada Tuhan mereka dan Kami tambahkan petunjuk kepada
mereka; dan Kami teguhkan hati mereka ketika mereka berdiri, lalu
mereka berkata: “Tuhan kami adalah Tuhan langit dan bumi; kami tidak
menyeru Tuhan selain Dia, sungguh kalau berbuat demikian, tentu kami
telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran”.[12]
3. seorang yang tidak berputus-asa, pantang mundur sebelum cita-citanya
tercapai. Seperti digambarkan pada pribadi pemuda (Nabi) Musa. “Dan
(ingatlah) ketika Musa berkata kepada pembantunya, “Aku tidak akan
berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua laut; atau aku akan
berjalan (terus sampai) bertahun-tahun”.[13]
Secara fitrah inilah pemuda, manusia berkarakter khas yang berbeda
dengan golongan lainnya.
2) PENGERTIAN ETNIK
Dalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan istilah etnik berarti kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya. Anggota-anggota suatu kelompok etnik memiliki kesamaan dalam hal sejarah (keturunan), bahasa (baik yang digunakan ataupun tidak), sistem nilai, serta adat-istiadat dan tradisi.
Menurut Frederich Barth (1988) istilah etnik menunjuk pada suatu kelompok tertentu yang karena kesamaan ras, agama, asal-usul bangsa, ataupun kombinasi dari kategori tersebut terikat pada sistem nilai budayanya[14].
Kelompok etnik adalah kelompok orang-orang sebagai suatu populasi yang dalam populasi kelompok mereka mampu melestarikan kelangsungan kelompok dengan berkembang biak, mempunyai nila-nilai budaya yang sama, dan sadar akan rasa kebersamaannya dalam suatu bentuk budaya, membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri, menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain.
Agama kadangkala menjadi ciri identitas yang penting bagi suatu etnis, tapi kadangkala tidak berarti apa-apa, hanya sebagai kepercayaan yang dianut anggota etnik.
3) KETEGANGAN ANTAR AGAMA DI PAPUA
Hubungan antara Muslim dan Kristen di Papua saat ini sedang tegang dan
kemungkinan memburuk karena faktor demografi, dakwah yang agresif oleh
elemen-elemen garis keras dari kedua belah pihak, politisasi sejarah agama dan
perkembangan di luar Papua yang memperkuat persepsi bahwa agama lain adalah
musuh. Masalah yang paling besar yaitu demografi: proporsi
jumlah penduduk Muslim semakin bertambah, dan sebagian besar adalah
pendatang dari daerah lain di Indonesia.[15] Statistik resmi dari pemerintah
memperlihatkan trend ini, tetapi hanya sedikit yang mempercayai angka tersebut.
Pemimpin gereja menilai bahwa jumlah Muslim sengaja dihitung lebih sedikit
dari yang sebenarnya, supaya tidak menimbulkan kekhawatiran. Sementara itu
sejumlah Muslim menuduh pemerintah menggabung jumlah penganut animisme
dengan Protestan untuk mengingkari posisi Islam yang sebenarnya sebagai agama
yang dominan. Kedua belah pihak percaya, namun dengan alasan yang berbeda
bahwa kemungkinan sebenarnya jumlah penduduk Muslim sudah melebihi
Protestan, yang mana berdasarkan statistik jumlahnya sekitar 50 sampai 60 persen
dari jumlah total penduduk Papua. Bagi banyak penduduk Kristen, hal ini menjadi
bukti kebijakan “Islamisasi” dan “Nonpapuanisasi” pemerintah yang terencana
untuk menjadikan mereka sebagai minoritas di tanah mereka sendiri bagi
sejumlah Muslim, hal ini memperlihatkan kebutuhan untuk berkonsentrasi
mendapatkan pengaruh yang sesuai dengan jumlah mereka.
Ketegangan diperburuk dengan kecenderungan pendatang Muslim yang
sangat mengaitkan diri dengan pemerintah pusat dan menganggap penduduk
Kristen sebagai separatis, sementara itu banyak penduduk asli Kristen dan
pemimpin gereja yang cenderung untuk mengaitkan diri dengan nasionalisme
Papua – begitu juga dengan banyak dari penduduk asli yang Muslim. Hubungan
ras dan etnis yang saling berkaitan dengan agama di Papua semakin mempersulit
penanganan konflik. Saya ambil contoh pada konflik “Kegaduhan Mengenai
Kampus Muslim Di Jayapura”.
Pada awal tahun 2007, sebuah persoalan baru muncul di Jayapura. Sekolah
Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN), bermaksud mendirikan sebuah kampus
diBumi Perkemahan, di wilayah Waena. Di seluruh Indonesia, tanpa terkecuali,
institut-institut ini telah menjadi kekuatan yang moderat dan rumah bagi beberapa
ulama yang paling progresif di Indonesia.[16] Di Papua, pendukungnya percaya
bahwa institute seperti itu akan menghasilkan ulama-ulama asli dari Papua
mengurangi ketergantungan pada guru-guru non-Papua dan memastikan bahwa
nilai-nilai Islam yang universal disampaikan dengan cara-cara yang harmonis
dengan tradisi budaya rakyat Papua.
Tetapi Asosiasi Pendeta Indonesia (API) mengeluarkan sebuah surat yang
menentang proyek itu, walaupun sudah disetujui oleh GKI, aliran Protestan
terbesar di Papua, karena berpikir bahwa hal ini juga merupakan
tanda-tanda lain berkembangnya “Islamisasi”. Pribumi Muslim yang paling
marah. “Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama saja tidak pernah mengontrol
kita”, kata salah seorang pemimpin Muslim lokal, menyebut organisasi Islam
terbesar di Indonesia, “kemudian tiba-tiba saja API yang menolak kita”.[17]
Kenyataan bahwa API didominasi oleh warga non-Papua semakin menambah
kekesalan mereka.[18]
Surat API ditembuskan ke gubernur, DPRD dan MRP, yang mana
kelompok kerja bidang agamanya membahas hal ini dan mendukung posisi API.
Pada tanggal 1 Maret 2007, MRP mengeluarkan pernyataan mereka, yang
menolak pembangungan kampus. Arobi Achmad Airtuarauw, seorang anggota
MRP Muslim, tidak hadir dalam sesi pembahasan. Pada pertengahan April 2007,
Muktamar Majelis Muslim Papua yang dipimpinnya, mengatakan bahwa
pernyataan itu telah “sangat melukai perasaan Muslim pada umumnya,
dan pribumi Muslim pada khususnya” dan meminta MRP untuk meminta maaf.[19]
Pada akhirnya, pembangunan berlanjut dan kampus sekarang berdiri di lokasi
seluas 1 hektar di Waena, tetapi peristiwa ini meninggalkan perasaan tidak enak
di semua pihak.
Di tengah-tengah ketegangan ini, sebuah lembaga baru lahir yang mungkin
bisa memainkan peran mediator di masa mendatang. Pada tanggal 13 April
2007, Majelis Muslim Papua (MMP) didirikan di Jayapura sebagai lembaga
Muslim asli Papua yang bertekad untuk menegakkan identitas budaya rakyat
Papua dan nilai-nilai universal Islam. Lembaga ini adalah hasil perkembangan
dari Solidaritas Muslim Papua, sebuah kelompok yang didirikan tahun 1999 yang
pendirinya termasuk beberapa Muslim dari gerakan pro-independen.
MMP mengumumkan di dalam Muktamar Pertamanya bahwa anggota
MMP terdiri dari Muslim yang berasal dari “Tujuh wilayah adat di Papua” yang
bertekad untuk menegakkan prinsip-prinsip moderat, toleran, tegak, seimbang,
dialog, demokrasi, dan aturan hokum dan HAM.132 Secara spesifik, MMP
menyatakan bahwa tujuannya adalah “membangun jamaah yang tidak eksklusif,
tidak juga untuk melancarkan Islamisasi, apalagi untuk membangu
fundamentalisme agama yang bisa menjurus pada gerakan-gerakan radikal, tapi
untuk bergandengan tangan dengan Pemerintah Daerah untuk menegakkan
keadilan dan kemakmuran rakyat”.[20]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Potensi konflik antar agama di Papua tinggi karena kedua belah pihak
menganggap dirinya sebagai korban. Warga Papua asli yang Kristen merasa
terancam dengan mengalir masuknya pendatang Muslim, pendatang Muslim
merasa demokrasi mungkin menuju ke arah tirani kelompok mayoritas, dimana
dalam jangka panjang mereka akan menghadapi diskriminasi atau bahkan
pengusiran. Meskipun ada keretakan dan perpecahan yang signifikan di kedua
belah pihak masyarakat, terutama mengenai nasionalisme yang bersaing
(Indonesia vs Papua), perkembangan di Jayapura mungkin menjadi pertanda lebih
banyak bentrokan yang akan terjadi.
Perubahan dalam demografi adalah bagian dari persoalan, tapi bahkan
kalau besok para pendatang dari luar Papua disetop datang, polarisasi antar agama
mungkin akan terus berlanjut karena perkembangan lain. Warga Papua Kristen
sangat menyadari terjadinya penyerangan-penyerangan terhadap gerejagereja di
daerah lain di Indonesia dan melihat Indonesia secara keseluruhan bergerak
menuju dukungan yang lebih banyak kepada ajaran Islami. Muslim dari luar
Papua mudah sekali digalang untuk membela apa yang mereka lihat sebagai
penghinan terhadap sebuah masyarakat yang diserang dan memperkuat jumlah
masyarakat Islam lewat dakwah dan bentuk dakwah yang lain. Dengan terus
bertambahnya kabupaten-kabupaten baru sebagai akibat proses desentralisasi di
Indonesia, kemungkinan sentiment antar agama dimobilisasi untuk kepentingan
politik lokal sangat tinggi. Para pemimpin di semua tingkatanpemerintah harus
waspada terhadap ketegangan yang sedang terjadi saat ini dan melakukan segala
hal dengan kekuasaan mereka untuk memastikan setidaknya keadaan ini tidak
semakin memburuk.
B. SARAN
Konflik adalah bagian yang tidak terelakkan dalam suatu dinamika kehidupan, baik kehidupan bernegara maupun kehidupan bermasyarakat. Kehidupan yang senantiasa berubah dengan berbagai pengaruh dan kepentingan didalamnya adalah hal yang harus senantiasa menjadi perhatian bagi kita semua.
Hidup dalam konflik pun memiliki implikasi yang beragam. Tapi yang terpenting adalah bahwa konflik tidak dapat kita hilangkan. Konflik hanya dapat kita atur “ manajemen konflik”.[21] Sehingga pada akhirnya konflik bukan menjadi ancaman melainkan menjadi gema akan adanya upaya menuju perubahan yang lebih baik.
Disinilah peran dari pemuda dituntut. pemuda sebagai pioner dalam tatanan bermasyarakat dianggap mampu menjadi agen pembaharu yang membawa misi mulia untuk tujuan yang lebih besar yakni Perdamaian. Pemudalah penggerak setiap sendi dalam kehidupan masyarakat. Tingkat intelektualitas yang tinggi serta ketepatan sikap dan tindakan adalah modal utama yang harus ada pada setiap pemuda untuk menjalankan peranannya. “Pemuda adalah cerminan bagi Negaranya”.
Begitu besar arti dan peranan pemuda dalam upaya pencapaian tujuan masyarakat dan Negara ini. Oleh karenanya besar harapan saya agar setiap pemuda memiliki kesadaran yang tinggi akan peranan pentingnya itu. Tanpa kesadaran, mustahil pemuda kita akan mampu menjalankan peranannya. Sebaliknya, yang terjadi adalah penurunan yang bermuara pada kehancuran tatanan kehidupan. Setiap pemuda pun hendaknya memiliki tingkat intelektualitas dan sikap kritis sehingga mampu menjadi mobilisator dalam upaya pembaharuan. Selain itu Pemerintah pun (Pusat maupun Daerah) diharapkan tidak mengabaikan upaya dan peran para pemuda dengan memberikan ruang dan kesempatan yang dapat mengakomodir kepentingan bersama. Sehingga pada akhirnya tujuan kita semua dapat tercapai, yaitu pemerintahan yang damai, adil, dan sejahtera.
[1] berdirinya seorang pemimpin
[2] keseragaman
[3] Berbeda-beda tetapi tetap satu. Dikutip dari http://id.wikipedia.org/wiki/Bhinneka_Tunggal_Ika
[4] Undang-undang
[6] Dikutip dari http://wahyuningtiyas.blogspot.com/pengertian-pemuda-menurut-kamus.html
[7] Dikutip dari United Nations General Assembly
[8] Dikutip dari World Bank
[9] Dikutip dari National Highway Traffic Safety Administration
[10] Dikutip dari Government of Tasmania
[11] (QS.Al-Anbiya,21:59-60)
[12] (QS.Al-Kahfi,18:13-14)
[13] (QS.Al-Kahfi,18:60)
[14] Dikutip dari http://smartpsikologi.blogspot.com/2007/08/etnik-dan-etnisitas.html
[15] Untuk analisa sebelumnya mengenai Papua, lihat Crisis Group Asia Briefings Nº66, Indonesian Papua: A Local Perspective on the Conflict (Papua: Perspektif Lokal atas Konflik), 19 Juli 2007; dan Nº53, Papua: Answers to Frequently Asked Questions (Papua: Jawaban untuk Pertanyaan yang Sering Ditanyakan), 5 September 2006; Nº47, Papua: The Dangers of Shutting Down Dialogue (Papua: Bahaya yang Dapat Timbul Jika Menghentikan Dialog), 23 Maret 2006; Nº24, Dividing Papua: How Not To Do It, 9 April 2003; dan Asia Reports Nº39, Indonesia: Resources and Conflict in Papua (Indonesia: Sumberdaya dan Konflik di Papua), 13 September 2002; dan Nº23, Ending Repression in Irian Jaya, 20 September 2001.
[16] Ada tiga tingkatan institusi, yaitu STAIN, setingkat perguruan tinggi dengan masa kuliah dua tahun; Institut Agama Islam Negeri (IAIN), perguruan tinggi dengan masa belajar empat tahun; dan Universitas Islam Negeri (UIN), sebuah universitas dengan program S1.
[17] Wawancara Crisis Group lewat telepon ke Jayapura, 24 Mei 2008
[18] Banyak anggota API di Papua yang berasal dari Menado (Sulawesi Utara), Toraja (Sulawesi Selatan) dan Sumatra Utara.
[19] Rekomendasi Majelis Muslim Papua, Bidang Otonomi Khusus dan Pemerintah Daerah, no. 4 dan 5, dan Bidang Sosial Budaya (Pendidikan) dalam Hasil-Hasil Pelaksanaan Muktamar I Majelis Muslim Papua, Jayapura, 10-13 April 2007, hal. 38-39.
[20] “Pesan Wagub Kepada Peserta Muktamar I Majelis Muslim Papua”, 11 April 2007, di www.papua.go.id/berita_det.php/id/1260.
[21] Konflik yang diarahkan untuk tujuan tertentu
Komentar
Posting Komentar